16 Oktober 2008

Se-bundle Kertas

Detik demi detik makin terlewati. Tak terlalu cepat dan tak terlalu lama. Udara yang sejuk menghampiri hampir seluruh badanku, kecuali sela-sela diantara tubuhku dengan kursi ini. Kulihat di dinding depan, ada sebuah jam yang menunjukkan waktu pukul 10.23. Suasana saat itu tak begitu sunyi dan tak begitu ramai, sesekali ada yang lalu lalang melewati belakang tempat dudukku ini. Ruang gerak yang yang tak begitu leluasa tak membuatku menjadi gelisah pada awalnya. Mungkin begitu juga yang dirasakan tiga manusia disampingku yang bernasib sama denganku.

Sejenak kuperhatikan lembar kedua dari beberapa kertas yang di-bundle menjadi satu. Kemudian kusalin kata demi kata, huruf demi huruf, demi beberapa tulisan yang berada di lembar pertama agar sama persis dengan yang ada di lembar keduanya. Tak terasa waktu sudah 5 menit, namun beberapa kotak-kotak kecil yang tersusun rapih di lembaran itu tetap kubiarkan kosong.

Lembaran besar yang dilaminating semakin lama semakin membuatku gemetaran. Ruang gerak yang tak begitu leluasa kini membuatku gelisah. Udara yang terasa sejuk kini terasa telah naik beberapa derajat Celcius. Apalagi sela-sela diantara tubuhku dengan kursi ini. Sudah mulai terasa panas. Orang sipil yang lalu lalang dibelakangku tampaknya semuanya kenal dengan orang-orang dalam yang ada di sini. Entah sudah lama kenal, atau kenal baru saja karena alasan sebagian hartanya berpindahtangan secara tak wajar ke kantong-kantong tak tahu dosa itu. Aku menjadi semakin gelisah saja.

Beberapa nomor soal dan jawabannya yang telah kucetak menggunakan tinta kantor ternyata tak begitu mampu untuk melawan local warming yang kualami saat ini. Gambar-gambar buram yang buru-buru kupindai menggunakan komputer kantor tampaknya tak tampak di lembaran besar berlaminating itu. Walaupun begitu detak jarum detik jam di dinding itu memaksa tangan ini untuk menggoreskan tinta-tinta di lembar pertama. Lukisan yang berupa dua garis menyilang kecil sederhana akhirnya satu-persatu memenuhi kotak-kotak kosong yang tersusun rapih. Rasa cemas menggerayangi seluruh tubuhku, kecuali sela-sela diantara tubuhku dengan kursi ini, rasa panas yang ada. Rasa itu berakhir ketika seseorang yang duduk manis di bawah jam dinding itu mengatakan bahwa waktuku telah habis, digantikan rasa yang sama dikalikan dengan satu setengah. Ujian itu berakhir.

Ujian teori SIM A-ku ini adalah yang kedua kalinya sejak sepekan sebelum lebaran aku dinyatakan tidak lulus. Akhirnya walaupun kurang percaya diri ketika mengerjakan, 25 soal dari 30 soal yang diberikan dinyatakan benar oleh pengawas. Ya! Kamu langsung ke ujian praktek! Ah.. leganya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

setidaknya se-bundle kertas di depan lu itu bisa menjadi saksi bisu perjuangan lu melawan diri sendiri untuk tidak mudah tunduk pada bujuk rayu calo..

cayo man..masih jago lu lah nulisnya..but, there is a way if we want..

saling berlatih ya man..