24 September 2008

Membuat SIM di Bekasi

Pagi ini aku berniat untuk membuat SIM A, setelah beberapa hari mencoba membawa mobil milik tempat kursus yang tak begitu jauh dari rumah. Untuk SIM kali ini aku sudah bertekad untuk mendapatkannya melalui jalur yang halal, yang baik, tanpa ada calo-calo seperti ketika kuperoleh SIM C pertamaku di Polres Metro Kota Bekasi tiga tahun lalu.

Banyak warga Bekasi khususnya warga Kabupaten Bekasi belum mengetahui bahwa tempat pembuatan SIM di Bekasi dibagi menjadi dua, yaitu untuk wilayah kota dan wilayah kabupaten. Sehingga jangan heran jika dari hari ke hari Polres Bekasi Kota selalu dibanjiri ratusan (atau mungkin ribuan..!) pelamar SIM. Dan sudah menjadi rahasia umum (masih juga dibilang rahasia wink) kalau ingin mendapatkan SIM itu harus melalui calo, baik itu dari luar atau dari pihak dalam sendiri. Jika tidak, jangan harap bisa dengan mudah mendapatkan Driving Licence ini.

Namun dari kabar burung yang sampai padaku, katanya proses pembuatan SIM untuk wilayah Kabupaten Bekasi sudah baik, ngga ada lagi yang namanya sogok-menyogok, calo-menyalo (ngaco bahasanya..), atau apalah yang masih kerabatnya yang jelas-jelas haram itu. Maka dari itu, punuk dicinta ulam pun tiba. "Kenapa ngga ngurus ke sana aja", pikirku. Jadilah hari ini aku kesana walaupun sempat nyasar sedikit-sedikit razz

Untuk kesan pertama... Good. Tidak ada terlihat calo satupun, dan juga aku merasakan keramahan petugas-petugas di sini. Setelah bertanya pada bagian informasi, langsung saja aku menuju TKP. Pertama-tama tes kesehatan. Di sini sudah ngga pakai tes lagi, bayar 15 ribu langsung dapat bukti tes kesehatan. Setelah itu bayar asuransi sebesar 15 ribu lagi di loket yang berbeda. Kemudian membeli formulir pendaftaran SIM. Harganya tergantung, apakah ingin membuat SIM baru, atau hanya ingin memperpanjang. Untuk membuat SIM baru kita dipungut 75 ribu, sedangkan untuk memperpanjang dipungut 60 ribu. Jadi kalau ditotal biayanya tidak akan melebihi 105 ribu rupiah. Kalau bayarnya lebih besar dari itu berarti sudah bisa diindikasikan bahwa kita terkena suap, atau bahkan memang kita memang niat ingin menyuap.

Setelah semua biaya sudah dikeluarkan, akhirnya tiba waktuku menunggu giliran Tes Teori. Jika tes ini lolos, maka akan dilanjutkan dengan tes praktek atau tes lapangan. Karena saking PD-nya aku ngga belajar dahulu untuk menghadapi ujian tertulis ini yang ternyata, soalnya susah banget! Karuan saja, setelah selesai dan dicek, nilaiku cuma benar 14 dari 30 soal yang ada. Hasilnya = NGGA LULUS cry Padahal agar bisa lulus, dibutuhkan jawaban benar minimal 18 buah. Yah mau-ngga-mau harus datang tiga pekan lagi ke sini. Oh iya tapi ngga usah bayar lagi smile

Tadi kesan pertama. Untuk kesan keduanya... kurang baik. Entah kebetulan atau tidak, ketika aku sedang tes teori, ada seseorang yang tiba-tiba masuk dan ingin bertemu dengan Bpk. X. Nah dia langsung bilang, "Pak, mohon dibantu lah Pak, udah mau Lebaran nih." Ternyata dijawab oleh Bpk. X ini begini, "Sstt.. jangan kenceng-kenceng ngomongnya! Sini aja ke belakang..." Selanjutnya entah apa yang mereka perbuat di belakang razz

Jadi kesimpulannya, akhirnya segala sesuatu kembali pada diri kita masing-masing. Sebenarnya mau kita jujur atau tidak, toh sebenarnya kesempatan untuk memperoleh SIM itu sama-sama ada. Mungkin bedanya untuk yang jujur, akan memerlukan energi yang lebih banyak untuk bersabar hingga bisa memperoleh SIM ini. Sedangkan untuk yang ingin cara instan, akan jauh lebih mudah, mungkin dengan memberikan tambahan biaya beberapa puluh ribu, SIM sudah ada di tangan. Namun resiko yang ditanggung akan lebih berat di akhirat kelak. Juga sulitnya untuk memulihkan krisis kepercayaan terhadap penyelenggara negara dan aparat penegak hukum di negeri ini.

16 September 2008

Mengenai Tragedi Pasuruan

Sungguh tragis memang, selalu saja ada kejadian-kejadian tidak menyenangkan yang selalu menimpa kaum miskin di negeri ini. Jumlah korban yang mencapai 21 orang bukan merupakan jumlah yang sedikit.

Sesaat ketika mendengar kabar terjadinya kejadian meninggalnya 21 orang karena berebut zakat, saya langsung saja berpikir, "Kenapa ngga dibagikan langsung ke rumahnya aja?". Pendapat saya ini ternyata ngga salah. Pak Hidayat saja (ketua MPR) langsung berkomentar bahwa si pemberi zakat seharusnya datang langsung ke rumah para penerima zakat (mustahiq), bukan mengundangnya ke rumah muzaki.

Padahal dahulu saya berpikir, alangkah lebih afdolnya kalo kita bisa ngasih zakat langsung ke orang yang membutuhkan, daripada dikumpulkan oleh panitia zakat. Ternyata sistem pengumpulan zakat oleh badan amil zakat telah dicontohkan pada zaman rasulullah. Ngga pernah kan kita mendengar bahwa rasulullah membagi-bagikan zakat di rumahnya? Maka sesungguhnya sistem tradisional yang dibilang sebagian masyarakat dengan cara membagi-bagikan langsung zakat kepada mustahiq sesunggunya tidak mencerminkan sistem yang islami, melainkan dikumpulkannya zakat oleh amil zakat itulah sistem tradisional sesungguhnya yang telah dicontohkan nabi kita.

Kemudian jika dilihat dari sudut pandang kesiapan si pemberi zakat, bisa dikatakan bahwa sebenarnya si pemberi zakat ini terlalu 'lugu'. Hal ini disampaikan pakar sosial Imam Prasojo di radio Elshinta kemarin. Memang benar ini adalah niat yang baik, namun kebaikan ini pun mestinya didukung oleh ilmu yang memadai, bagaimana cara me-manage suatu acara sehingga dapat berlangsung dengan baik. Bagaimana seharusnya si pemberi zakat ini paham untuk membentuk panitia yang profesional sehingga kejadian seperti ini dapat dihindarkan. Maka peran ilmu di sini sangat dibutuhkan.

Terlepas dari itu semua, semoga tidak terjadi kejadian seperti ini lagi. Kasihan.. sudah miskin teraniaya pula. Saya juga mau berzakat lewat badan amil zakat aja ah...